Senin, 09 Juli 2012

Pandangan Islam terhadap vaksinasi

Pandangan agama terhadap vaksinasi Piprim Basarah Yanuarso Beberapa waktu belakangan ini marak seruan antivaksinasi bermotifkan isu agama. Isu yang dihembuskan adalah menyangkut kehalalan dan keamanan vaksin. Apalagi kelompok antivaksinasi ini sangat giat menyebarkan pemahamannya baik di ranah media sosial seperti twitter dan facebook maupun di pelosok-pelosok melalui berbagai forum, seperti majelis taklim di masjid-masjid kampung. Masyarakat awam pun mudah mengikuti seruan ini karena sensitifnya isu halal dan haram vaksin. Selain itu isu bahwa vaksin mengandung zat kimia beracun pun dihembuskan kencang. Hal ini diakhiri dengan himbauan agar masyarakat kembali menggunakan pengobatan ala nabi (tibbun-nabawy) dan melarang penggunaan obat kimia dan vaksin yang merupakan buatan manusia. Umat dihimbau agar menggunakan zat alamiah seperti herbal dan tidak lagi memakai obat-obatan modern. Alasannya karena herbal itu buatan dan racikan Allah SWT sendiri sedangkan obat modern dan vaksin itu murni buatan manusia. Terjadi dikotomi antara herbal dengan obat modern, tibbun-nabawy dengan vaksinasi, yang satu diposisikan sebagai berasal dari Allah dan yang lain berasal dari manusia, yang satu benar mutlak yang lain salah total. Mereka menuduh ada bisnis besar di balik penjualan obat modern dan vaksin yang menggunakan dokter dan tenaga kesehatan lain sebagai agen-agennya. Ditambah dengan bumbu teori konspirasi, bahwa vaksin adalah senjata Yahudi untuk melumpuhkan generasi muslim, maka lengkaplah sudah kegalauan masyarakat terhadap vaksinasi ini. Tulisan ini akan membahas secara ringkas tentang pandangan agama dalam hal ini Islam terhadap vaksinasi dan imunisasi. Semoga tulisan ini dapat membantu menjernihkan persoalan seputar isu agama dan vaksinasi yang beredar di masyarakat. Pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan Al Qur'an banyak menyebutkan keharusan seorang muslim mengeksporasi alam semesta. Dalam surat Ali Imran 190-191 misalnya disebutkan kriteria ulil albab (cendekiawan), "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergiliran malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu orang-orang yang berdzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring dan senantiasa bertafakkur (berpikir mendalam) tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata ya Tuhan kami tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka." Dalam ayat tersebut di atas dan ayat-ayat sejenis yang banyak dijumpai dalam Al Qur"an tampaklah bahwa seorang cendekiawan atau ulil albab itu adalah orang yang mampu melakukan harmonisasi kegiatan dzikir dan fikir. Di dalam Islam tidak terdapat pemisahan antara aktifitas berdzikir dan bertafakkur atau berfikir secara mendalam (deep thinking). Aktifitas berfikir mendalam tentang penciptaan Allah di langit dan bumi akan meningkatkan keimanan seseorang dan menguatkan kegiatan dzikirnya kepada Allah SWT. Jadi ringkasnya Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk mengeksplorasi alam semesta ini, baik alam makrokosmos dan mikrokosmosnya. Hasil eksplorasi alam semesta itu ditujukan untuk kebaikan manusia itu sendiri di dunia dan sekaligus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam sudut pandang lain kita bisa melihat dari perspektif diturunkannya ilmu Allah kepada manusia. Secara garis besar ilmu Allah ini diturunkan kepada manusia melalui dua jalur. Pertama jalur resmi (formal) yaitu ilmu yang diturunkan melalui para Nabi dan Rasul berupa wahyu/firman Allah dan petunjuk nabi. Ilmu tersebut dikenal dengan ilmu qauliyah. Yang kedua adalah jalur tidak resmi (non-formal) berupa ilham yang diberikan langsung kepada manusia (apa pun agama dan rasnya) yang mengeksplorasi alam semesta ini sesuai anjuran pada ayat Al Qur'an di atas. Ilmu tersebut dikenal dengan ilmu kauniyah. Ilmu qauliyah kebenarannya mutlak, bersifat umum, berfungsi sebagai way of life bagi manusia. Sedangkan ilmu kauniyah kebenarannya relatif, bersifat spesifik, dan untuk melengkapi sarana kehidupan manusia. Kedua macam ilmu tersebut saling terkait dan tidak dapat dipisahkan agar kehidupan manusia harmonis dan seimbang. Gagal memahami persoalan di atas atau menolak salah satunya akan membuat seorang muslim bersikap ekstrim bahkan terjebak ke dalam dikotomi ilmu islam non-islam, ilmu Allah dan ilmu manusia, dan seterusnya. Vaksinasi sebagai salah satu ilmu kauniyah terbesar abad ini Diawali dengan tradisi masyarakat muslim Turki pada awal abad-18 yang memiliki kebiasaan menggunakan nanah dari sapi yang menderita penyakit cacar sapi (cowpox) untuk melindungi manusia dari penyakit cacar (smallpox, variola) kemudian tradisi ini dibawa ke Inggris dan diteliti serta dipublikasikan oleh Edward Jenner tahun 1798. Sejak saat itu konsep vaksinasi terus berkembang demikian pesat. Beragam jenis vaksin telah ditemukan selama dua abad. Dan masih akan banyak lagi jenis vaksin yang ditemukan. Penelitian untuk membuat vaksin merupakan penelitian yang panjang, sangat memperhatikan aspek keamanan dan keakuratan data. Satu jenis vaksin bisa memerlukan belasan tahun untuk membuatnya. Diawali dengan uji laboratorium, kemudian uji pada hewan coba, relawan, orang dewasa, baru kemudian diterapkan pada bayi dan anak setelah terbukti produk vaksin tersebut aman dipakai. Bila terbukti sebuah vaksin menimbulkan efek simpang atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang berat dan fatal maka vaksin akan segera ditarik dari peredaran untuk diteliti ulang. Berbagai prestasi vaksinasi pun telah dapat kita lihat dalam catatan sejarah kemanusiaan. Di antara prestasi terbesar vaksinasi adalah lenyapnya penyakit cacar pada tahun 1979. Inilah salah satu bukti manfaat ilmu kauniyah yang dipelajari manusia (apa pun agama dan rasnya). Hasil dari eksplorasi alam semesta di antaranya ilmu tentang vaksin (vaksinologi) telah menghasilkan manfaat yang luar biasa dalam bidang pencegahan penyakit pada manusia (dan juga hewan). Adalah amat keliru bila hasil penelitian selama dua abad itu kemudian ditolak dengan alasan amat sederhana: itu produk buatan manusia. Pendikotomian buatan Allah dan buatan manusia seperti pemahaman sebagian kelompok muslim yang antivaksinasi pada hakikatnya adalah pemahaman yang amat sekuler. Pemahaman yang jauh menyimpang dari intisari ajaran Islam yang sebenarnya. Bila kita memahami dengan baik posisi ilmu kauniyah maupun ilmu qauliyah adalah bersumber dari Allah SWT yang Maha Berilmu, maka tidak perlu lagi terjadi hal seperti di atas. Pandangan Islam terhadap aspek pencegahan penyakit Islam mengutamakan aspek pencegahan dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai contoh dalam menghadapi kemungkinan timbulnya penyakit menular seksual, Islam dengan tegas melarang ummatnya untuk mendekati zina. Dalam surat al Isra 32 : "Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk." Coba perhatikan, bukan larangan berzina tapi larangan untuk mendekati zina. Suatu aspek preventif yang luar biasa karena jauh lebih mudah menghindari mendekati zina daripada menghindari berzina. Bandingkan dengan program kondomisasi yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan masyarakat karena justru memfasilitasi zina secara tidak langsung. Panduan terhadap pencegahan penyakit dalam al Qur'an maupun al Hadits (petunjuk Nabi saw) dapat dilihat pada beberapa ayat dan hadits berikut: Jagalah lima keadaan sebelum datang lima keadaan, di antaranya: jagalah kesehatanmu sebelum datang masa sakitmu. Al Hadits. Bila terjadi wabah di suatu tempat, maka penduduk setempat dilarang meninggalkan daerahnya dan orang luar dilarang berkunjung sampai wabah berlalu. Al Hadits. Inilah konsep isolasi daerah wabah yang sudah diajarkan oleh Nabi SAW sejak dahulu. Mukmin yang kuat lebih disukai Allah SWT daripada mukmin yang lemah. Al Hadits. Dan persiapkanlah kekuatan semaksimal mungkin dalam menghadapi musuh-musuhmu... QS 8:60 Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah maka ia tidak akan terkena pengaruh sihir atau racun. Al Hadits. Dari beberapa hadits dan ayat Qur'an tersebut di atas kita dapat melihat bahwa Islam sangat menganjurkan aspek pencegahan terhadap penyakit. Karena biaya yang dikeluarkan untuk aspek pencegahan akan jauh lebih murah dibandingkan dengan pengobatan penyakit. Hal ini telah dibuktikan kebenarannya oleh ilmu kedokteran modern. Islam memberi kebebasan dalam hal teknik pencegahan sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada saat itu. Islam tidak pernah membatasi kemajuan teknologi, namun hanya memberi batasan atau rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Ini terbukti dengan pernyataan Nabi SAW ketika ada yang bertanya kepada beliau mengenai perkawinan pohon kurma. Saat itu beliau memberi nasehat dan ternyata kurma menjadi tidak berbuah saat dilaksanakan nasehat tersebut. Akhirnya beliau SAW bersabda: Antum a'lamu bi umuri addunyakum artinya kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu. Islam hanya mengajarkan rambu-rambu yang bersifat umum dan baku, seperti larangan berobat dengan yang haram, larangan berobat ke dukun atau ahli sihir namun mengenai hal-hal yang bersifat teknis sepenuhnya diserahkan kepada perkembangan ilmu sains sesuai perkembangan zamannya. Dengan prinsip ini tidak heran bahwa para ilmuwan muslim pernah mencapai puncak kejayaannya dalam hal sains tidak berapa lama setelah Nabi SAW wafat. Bila ditanyakan adakah dalil dari Al Qur'an atau Hadits Nabi yang spesifik menyebutkan perlunya vaksinasi? Jawabannya tentu tidak ada. Namun tidak adanya dalil qauliyah bukan berarti vaksinasi bertentangan dengan ajaran Nabi SAW. Hal ini adalah karena vaksinasi termasuk ranah kauniyah. Ranah ilmu pengetahuan modern yang diperoleh berdasarkan pencarian oleh manusia. Berdasarkan penelitian yang tekun dan seksama, sebagaimana sudah disebutkan di atas. Oleh karena itu pakar mengenai vaksinasi tentu saja adalah para dokter dan peneliti di bidang vaksinologi, bukan wartawan, sarjana hukum, ahli statistik, atau yang lainnya. Pendapat para ulama mengenai vaksinasi Kita perlu tahu bahwa vaksinasi bukan hanya dilaksanakan di Indonesia namun juga dilaksanakan di lebih dari 190 negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara muslim. Sampai saat ini tidak pernah terdengar seorang pun dari ulama-ulama di negara-negara muslim itu yang melarang diberikannya vaksinasi kepada bayi dan anak di negaranya. Sebagai contoh Syaikh Abdullah Bin Bazz seorang mufti dari Saudi Arabia membolehkan vaksinasi. DR Yusuf Al Qaradhawy seorang ulama mujtahid yang berdomisili di Qatar pun membolehkan imunisasi. Bahkan beliau banyak menyerahkan masalah ini kepada para dokter yang menguasai ilmu vaksinologi secara mendalam dan kemudian beliau berikan fatwa terhadap apa yang diungkapkan para dokter. Kalau para ulama di tingkat internasional saja membolehkan vaksinasi lalu mengapa ada orang yang bukan ulama malah mempermasalahkan bolehnya vaksinasi dalam Islam. Adapun pendapat sebagian kelompok Islam yang mengatakan vaksinasi dilarang dalam Islam karena menggunakan kuman yang disuntikkan ke dalam tubuh sehingga berpotensi membahayakan tubuh, adalah pendapat yang tidak berlandaskan ilmu. Hanya berdasarkan zhan atau prasangka belaka. Padahal Islam melarang umatnya untuk berprasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa. Saat ini ada sebagian orang yang bukan ahlinya namun seringkali berkomentar mengenai sesuatu yang tidak difahaminya secara mendalam. Hanya berdasarkan bacaan dari internet, bersumber dari tokoh-tokoh fiktif yang tidak pernah ada atau berdasarkan teori konspirasi. Hal ini amat disayangkan karena bertentangan dengan anjuran dan tradisi Islam yang sangat menekankan aspek kejujuran dan obyektifitas ilmiah. Salah satu contoh tradisi ilmiah dalam Islam yang tidak ada bandingannya adalah pada proses penyeleksian ketat terhadap hadits hadits nabi. Mungkin orang-orang yang hobi menyadur rumor, berita fiktif, hoax, gosip, khususnya tentang kampanye negatif terhadap vaksinasi perlu meniru tradisi Islam dalam menyeleksi hadits shahih. Masalah enzym babi dalam proses pembuatan vaksin Salah satu persoalan yang sering dipermasalahkan mengenai kehalalan vaksin adalah digunakannya enzym tripsin dari babi selama pembuatan beberapa jenis vaksin tertentu. Seringkali masalahnya ada pada perbedaan persepsi. Sebagian besar orang mengira bahwa proses pembuatan vaksin itu seperti orang membuat puyer. Bahan-bahan yang ada semua dicampur jadi satu, termasuk yang mengandung babi, dan kemudian digerus menjadi vaksin. Hal semacam ini adalah persepsi keliru mengenai proses pembuatan vaksin di era modern ini. Bila prosesnya demikian sudah tentu hukum vaksin menjadi haram. Namun sebenarnya proses pembuatan vaksin di era modern ini amatlah kompleks. Ada beberapa tahapan, dan tidak ada proses seperti menggerus puyer tadi. Enzym tripsin babi digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan kemudian dilakukan fermentasi dan diambil polisakarida sebagai antigen bahan pembentuk vaksin. Selanjutnya dilakukan proses purifikasi, yang mencapai pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin. Pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan-bahan yang mengandung babi. Bahkan antigen vaksin ini sama sekali tidak bersinggungan dengan babi baik secara langsung maupun tidak. Dengan demikian isu bahwa vaksin mengandung babi menjadi sangat tidak relevan dan isu semacam itu timbul karena persepsi yang keliru pada tahapan proses pembuatan vaksin. Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa halal terhadap vaksin meningitis yang pada proses pembuatannya menggunakan katalisator dari enzym tripsin babi. Hal serupa terjadi pula pada proses pembuatan beberapa vaksin lain yang juga menggunakan tripsin babi sebagai katalisator proses. Penutup Demikian uraian ringkas mengenai pandangan Islam terhadap vaksinasi. Sebagai dokter kita perlu memahami konteks ini agar dapat berdiskusi dengan pasien yang mempunyai kesalah-pahaman terhadap vaksinasi dengan informasi keliru khususnya yang berkaitan dengan ajaran agama (Islam). Diharapkan dengan diskusi intensif dengan pasien yang masih ragu kita bisa meyakinkan bahwa vaksinasi itu halal dan aman dan tidak ada seorang pun ulama di negara-negara muslim melarang program vaksinasi ini. Semoga kegalauan masyarakat karena isu tidak bertanggungjawab dari para pegiat antivaksinasi bisa terlokalisir bila para dokter juga mampu berdiskusi dengan lebih baik. Daftar Kepustakaan Al Qur'an dan terjemahannya. Departemen Agama Republik Indonesia, 1971. Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Buku Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi ke-4. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta 2011. Al Qaradhawy Y. Halal dan haram dalam Islam. Jakarta, PT Bina Ilmu 1993. Center for Disease Control http://www.cdc.gov http://www.binbaz.org.sa/mat/238 diunduh 1 Juli 2012. Fatwa MUI 4 Sya’ban 1431 H/16 Juli 2010 M. Fatwa no. 06 tahun 2010 tentang penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji atau umrah. Jenie UA. Obat sebagai produk rekayasa biokimiawi dan rekayasa genetika serta kaitannya dengan masalah kehalalannya. Disampaikan pada Lokakarya dampak RUU Jaminan Produk Halal terhadap obat dan vaksin bagi kesehatan masyarakat. Jakarta, Bidakara, 04 Juni 2012.

Selasa, 26 Juni 2012

Tinjauan sunat perempuan dalam Islam

  PERLINDUNGAN ANAK DALAM BERAGAMA   Analisis Kebijakan Sunat Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam dan Perundang-Undangan   oleh Dr. HM. Asrorun Ni'am Sholeh, MA   A. Pendahuluan Khitan dalam kajian fikih (hukum Islam) secara umum ditempatkan dalam bab ibadah, dan bahkan ada yang lebih spesifik, ditempatkan pada bagian "bersuci". Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan dikaitkan dengan upaya pensucian diri, baik bersifat hissi maupun maknawi. Dalam tataran hukum taklifi, para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan hukum terkait dengan khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Secara umum, pandangan fuqaha terbagi menjadi dua; kelompok yang wajib, dan kelompok yang menetapkan hukum sunnah. Bahkan, dalam hal khitan terhadap perempuan, ada yang "menetralkannya" dan menganggap sebagai makrumah. Isu khitan perempuan menjadi menyeruak dan muncul menjadi isu publik sangat terkait dengan setidaknya dua hal; (i) kampanye sistemik dari lembaga donor terkait dengan upaya perlindungan hak asasi manusia dan hak anak. Termasuk hak perempuan dalam melakukan reproduksi; (ii) sajian atas penyelewengan praktek khitan perempuan yang berdampak pada timbulnya berbagai ekses negatif yang membahaayakan (sebagaimana kasus di berbagai negara afrika). Atas dasar fakta tersebut muncul rencana aksi pelarangan khitan terhadap perempuan. Bahkan, muncul desakan agar pelarangan tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-undangan disertai hukuman bagi pelakunya. Beberapa aktifis LSM yang bergerak di bidang perempuan, dengan sokongan lembaga internasional mengampanyekan hal serupa. Berkorelasi dengan hal tersebut, dalam konteks Indonesia, pada pertengahan tahun 2006 muncul Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan. Terhadap Surat ini, muncul gejolak di masyarakat, baik masyarakat awam maupun tenaga kesehatan, khususnya bidan. Surat Edaran ini dinilai sangat bias dan justru tidak memberikan perlindungan bagi anak-anak yang minta disunat. Larangan ini justru mengundang masalah karena masalah sunat, tidak hanya urusan kesehatan tetapi berkaitan dengan urusan agama. Sebaliknya, oleh sebagian kelompok masyarakat, SE ini dijadikan “senjata” untuk terus mengampanyekan larangan praktek sunat perempuan di Indonesia. Pada 2008, MUI kemudian menetapkan fatwa terkait khitan perempuan. Namun, substansi fatwa bukan mengarah kepada jawaban hukum tentang khitan perempuan, tetapi merespons adanya masalah di masyarakat terkait dengan upaya larangan terhadap khitan perempuan. Fatwa tersebut secara tegas menjelaskan bahwa pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan hukum Islam. Diskusi publik kembali mencuat pada saat Menteri Kesehatan mengoreksi total atas SE larangan medikalisasi sunat perempuan, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Setidaknya ada dua substansi yang dituju oleh Permenkes ini, pertama, memberikan SOP terhadap praktek sunat perempuan untuk menjamin pelaksanaan sunat yang aman secara medis, kedua, pengaturan ini mengoreksi SE Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. Makalah ini akan menjelaskan soal relevansi ketentuan yang mengatur khitan perempuan dengan prinsip perlindungan anak secara substanstif. Pembahasan dimulai dengan penjelasan substansi dan argumentasi fatwa MUI seputar masalah khitan perempuan. Dilanjutkan dengan dinamika pembahasan dan regulasi mengenai sunat perempuan serta relenavansinya dengan prinsip perlindungan agama bagi anak.     B. Seputar Fatwa MUI Terkait Khitan Perempuan: Substansi dan Relevansi     ​1. Substansi dan Diktum Fatwa   Diktum fatwa MUI tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan terdiri dari empat bagian; (i) Status Hukum Khitan Perempuan; (ii) Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan; (iii) Batas atau Cara Khitan Perempuan; dan (iv) Rekomendasi. Diktum fatwa MUI selengkapnya adalah sebagai berikut: ​ Pertama: Status Khitan Perempuan 1. Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. 2. Khitan terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.   Kedua: Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari'ah karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.   Ketiga: Batas atau Cara Khitan Perempuan Dalam pelaksanaannya, khitan terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris. 2. Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.   Keempat: Rekomendasi 1. Meminta kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan/regulasi tentang masalah khitan perempuan. 2. Menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini.   Dari diktum fatwa tersebut, sejatinya fatwa MUI ini ingin menegaskan dua substansi sekaligus. Pertama, menegasikan tindak pelarangan khitan terhadap perempuan. Kedua, menegaskan tata cara berkhitan bagi perempuan yang sesuai dengan ketentuan syari'ah dan melarang tindakan berlebihan dalam praktek khitan yang menimbulkan bahaya bagi perempuan, baik secara fisik maupun psikis.     ​2. Argumentasi atas Penetapan Fatwa ​Fatwa MUI terkait dengan masalah ini, diawali dengan adanya penegasan bahwa khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Pelaksanaannya bagian dari ibadah. ​Hal ini menjadi penting utuk ditegaskan terkait dengan adanya kesalahpahaman terhadap posisi khitan. Khitan tidak hanya sekedar kebutuhan medis, namun merupakan bentuk ibadah yang "dogmatik". Meski tidak jarang ajaran agama yang bersifat dogmatik tersebut melahirkan hikmah positif. Sekalipun secara medis tidak (atau lebih tepatnya belum) ditemukan manfaat terhadap pelaksanaan khitan bukan serta merta ia menjadi terlarang. Hal ini sangat berbeda dengan cara pandang medik ansich. Cara pandang yang seperti ini dipastikan akan melarang khitan jika tidak ada pertimbangan medis. Selanjutnya, secara lebih ekstrim, cara pandang seperti ini akan mengabsahkan gerakan pro-integrasi genital yang juga melarang khitan laki-laki sebagaimana larangan terhadap khitan terhadap perempuan di AS. ​Dalam teori hukum Islam, ibadah itu ada yang berdimensi rasional (ta'aqquli/ ma'qulat al-ma'na) dan ada yang dogmatik (ta'abbudi/ghair ma'qulat al-ma'na). Nah, khitan sekalipun tidak dapat dinalar sesuai dengan nalar medik sekalipun, ia tetap dan harus eksis sebagai bentuk "identitas" agama. ​Penetapan fatwa bahwa pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan syari'ah, didasarkan pada keumuman ayat al-Quran, Sunnah, dan pandangan ulama madzhab yang bersepakat atas kebolehan khitan terhadap perempuan. Secara tersirat, terdapat adanya konsensus di kalangan ulama mengenai ketidakbenaran tindakan pelarangan khitan terhadap perempuan. Ulama sepakat bahwa khitan terhadap perempuan tidak haram, pun juga tidak makruh. ​Dalil dari al-Quran yang dijadikan landasan fatwa MUI ini adalah keumuman ayat tentang keharusan mengikuti millah Ibrahim, antara lain dalam QS al-Nahl ayat 123:   ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. an-Nahl[16] : 123) ​Dalam Tafsir al-Shan'ani disebutkan, cakupan "al-hanifiyyah" antara lain tauhid, khitan, larangan menikah dengan ibu kandung, anak kandung, dan saudara kandung. ​Di samping itu, al-Syaukani dalam tafsirnya Fath al-Qadir menjelaskan pengertian "millah" di sini antara lain mencakup seluruh hal yang disyari'atkan oleh Allah melalui nabi-Nya. Sedang cakupan millah yang diperintahkan untuk diikuti dalam ayat ini, ada yang melihatnya sebatas masalah-masalah ushul. Sementara al-Syaukani lebih memilih pengertian millah yang menyatakan seluruh ketentuan syari'ah sepanjang tidak dinasakh, termasuk ibadah haji dan khitan. ​Ayat ini juga disebutkan secara eksplisit oleh Imam Nawawi dalam Majmu' sebagai landasan kewajiban khitan dan juga al-Syaukani dalam Nail al-Authar sebagai landasan pensyari'atan khitan. Hal ini sekaligus menjawab analisis Ahmad Luthfi Fathullah yang menegaskan jarang ulama yang menggunakan ayat tersebut sebagai dalil wajibnya khitan. ​Dalam perspektif ilmu tafsir, dikenal dengan tafsir ayat dengan ayat, atau dengan hadis, yang dikenal dengan tafsir bi al-ma'tsur. Nah, dalam konteks ayat ini, ada penjelasan dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan redaksi: ختن إبراهيم وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم "Nabi Ibraham saw berkhitan pada usia delapan puluh tahun dengan menggunakan kapak" (HR. Bukhari Muslim). ​Dalam kaedah ushul fiqh, keumuman suatu lafadz tetap berlaku umum sepanjang tidak ada yang mentakhshish. Bahkan, Imam syafi'i menegaskan petunjuk (dalalah) lafazh yang umum bersifat qath'i. Di samping keumuman ayat di atas, fatwa MUI ini juga didasarkan pada beberapa hadis nabi saw, di antaranya hadis shahih yang diriwayatkan para punggawa hadis kenamaan, dengan redaksi sebagai berikut:   عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ “Lima perkara yang merupakan fitrah manusia : khitan, al-Istihdad (mencukur rambut pada sekitar kemaluan), mencukur bulu ketiak, menggunting kuku dan memotong kumis". (HR Jama’ah dari Abu Hurairah r.a.). Dari sisi kualitas hadis, tidak ada yang meragukan darajat keshahihannya. Namun, terjadi perbedaan terkait dengan kandungan hukum yang diistinbathkan dari redaksi hadis di atas. Melengkapi argumentasi fatwanya, MUI menegaskan adanya konsensus (ijma) ulama yang menegaskan bahwa khitan perempuan adalah hal yang disyari'atkan dan tidak ada satupun yang melarangnya. Dari keumuman ayat al-Quran dan hadis yang shahih, praktek sahabat, serta literatur khazanah klasik, tidak ditemukan satu pandanganpun yang menyatakan adanya larangan khitan terhadap perempuan, baik yang dalam status hukum makruh, apalagi haram. Bahkan, ada penegasan tentang telah terjadinya khitan perempuan di zaman nabi saw, dan tidak ada pengingkaran atasnya. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Yusuf al-Qardlawi dalam al-Hukm al-Syar'i fi Khitan al-Inats dengan yang menegaskan bahwa adanya konsensus (Ijma dlimni) dari seluruh fuqaha merupakan dalil bahwa orang yang melakukan khitan perempuan, sepanjang sejalan dengan ketentuan hadis (ada yang menyatakan hasan dan sebagian dlaif), di mana nabi menyarankan memotong sedikit dan tidak berlebihan, maka jelas bukan perbuatan dosa, juga bukan sebagai tindak kriminal". Juga ditegaskan oleh Syeikh al-Azhar Jad al-Haqq dalam Buhust wa Fatawa Islamiyah fi Qhadhaya Mu'ashirah, yang menegaskan bahwa " … Seluruh mazhab dalam fiqih sepakat bahwa sesungguhnya khitan bagi laki-laki dan perempuan adalah bagian dari fitrah dan syi’ar Islam. Khitan pada dasarnya adalah perkara terpuji, dan sepanjang penelaahan kami atas kitab-kitab fiqih, tidak ada satupun ahli fiqih yang melansir sebuah pendapat yang melarang khitan bagi laki-laki dan perempuan, atau pendapat yang melarang atau menganggap adanya bahaya (dharar) khitan bagi perempuan".   Hanya saja, perbedaan terjadi pada apakah ia sunnah atau wajib. Secara sederhana, pandangan ulama tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:   Tabel Pendapat Madzhab Fikih tentang Hikum Khitan   Madzhab Hukum Khitan Keterangan   Laki-Laki Perempuan   Hanafiyyah Sunnah Sunnah   Malikiyyah Wajib Sunnah Sebagian ulama Malikiyyah menegaskan keduanya wajib, sebagian kecil menganggap keduanya sunnah Syafi'iyyah Wajib Wajib   Hanabilah Wajib Sunnah Sebagian ulama Hanabilah menegaskan keduanya wajib, sebagian lain dalam satu riwayat menganggap keduanya sunnah Zhahiriyyah Wajib Makrumah     ​Dari sini nampak jelas bahwa tidak satupun pandangan ulama yang melarang khitan perempuan. Belakangan muncul upaya menetralkan pengertian kata "makrumah" sebagai sekedar kebolehan, yang berfungsi sebagai irsyad (bimbingan). Walau demikian, pengertian tersebut tetap menegasikan tindak pelarangan terhadap khitan perempuan. ​   C. Fatwa MUI  Terkait Khitan Perempuan: Moderasi Antara Dua Ekstrem ​Dari paparan di atas, penulis menilai bahwa ketetapan fatwa MUI terkait dengan masalah khitan perempuan merupakan langkah moderasi di antara dua ekstrem. Jika digambarkan secara sederhana, penyikapan terhadap masalah khitan perempuan, terdapat dua kutub yang berlawanan:   1. pihak yang melakukan khitan terhadap perempuan dengan praktek yang secara pasti membahayakan, seperti digambarkan terjadi di beberapa negara Afrika Utara.   2. pihak yang melarang seluruh praktek khitan perempuan, dengan alasan sebagai bentuk tindak kekerasan, mutilasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.   Fatwa MUI berdiri di antara dua ekstrem tersebut, karena keduanya, secara akademik maupun keagamaan bertentangan dengan ketentuan normatif yang dikembangkan oleh Islam. Terhadap pihak yang menyatakan pelarangan mutlak terhadap khitan perempuan, secara agama jelas bertentangan. Untuk itu, salah satu diktum fatwa MUI menegaskan bahwa "pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari'ah karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam". Sebelumnya, fatwa ini menjelaskan bahwa pelaksanaan khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Walau demikian, fatwa MUI tidak menutup mata terhadap fakta adanya berbagai praktek khitan perempuan yang menimbulkan bahaya. Untuk itu, guna menghindari adanya bahaya akibat penyimpangan terhadap praktek khitan perempuan, fatwa MUI juga menegaskan mengenai batasan atau tata cara khitan perempuan sesuai dengan ketentuan syari'ah, yaitu: (i) khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris; dan (ii) khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar. Penentuan batasan atau tata cara khitan tersebut didasarkan pada petunjuk yang diberikan nabi saw, yang menekankan prinsip; (i) sedikit saja; (ii) tidak berlebihan; dan (iii) tidak menimbulkan bahaya. Dalam keterangan melalui hadisnya, Rasulullah saw hanya memperbolehkan pemotongan itu dilakukan dengan syarat tidak berlebihan, sehingga tidak menyebabkan bahaya, seperti mengurangi fungsi seksual dan dampak fisikis lainnya. Dalam elaborasi lebih lajut, para ulama memberikan penjelasan lebih detil mengenai tata cara pelaksanaan khitan, termasuk khitan terhadap perempuan. Khitan terhadap perempuan secara umum sebanding dengan khitan terhadap laki-laki. Hanya saja, karena secara anatomis antara keduanya berbeda, maka tata caranya juga berbeda. Khitan laki-laki dilakukan dengan membuang kulup yang menutupi penis (hasyafah), sedang pada perempuan dilakukan dengan membuang "kulup" yang menutupi klitoris (bizhr).   D. Permenkes tentang Sunat Perempuan: Regulasi yang Ramah Anak Sebenarnya, dalam perspektif hukum Islam, penegasan mengenai status hukum khitan perempuan tidak hanya disuarakan secara jelas oleh MUI. Hampir seluruh lembaga keagamaan menegaskan hukum yang sama terkait dengan masalah ini. Bahkan, Nahdlatul Ulama dalam Muktamarnya yang ke-32 di Makassar pada 2010 menegaskan  bahwa khitan perempuan menurut Imam al-Syafi’i hukumnya wajib, seperti hukum khitan bagi laki-laki. Muktamar juga menegaskan bahwa pendapat yang melarang khitan perempuan sebenarnya tidak memiliki dalil syar’i. Atas dasar realitas inilah kemudian Pemerintah, di dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI melakukan reviu atas SE yang bermasalah tersebut, baik dari sisi struktur keredaksian maupun konten. Dan anehnya, SE inilah yang kemudian dijadikan bahan kampanye kelompok yang “mendakwahkan” larangan sunat perempuan. Seluruh pemangku kepentingan diundang untuk mendiskusikan, mengavaluasi, dan memberi masukan terkait dengan terbitnya SE yang bermasalah ini. Pertemuan tersebut menghadirkan ahli dan sejumlah asosiasi, mulai dari IDI, IDAI, IBI, dan juga kalangan akademisi. Atas prakarsa Dirjen, pertemuan terus diintensifkan untuk melakukan koreksi dan revisi atas SE yang bias budaya ini. Akhirnya, Menteri Kesehatan tidak sekedar merevisi SE, tetapi lebih dari itu, meregulasi praktek pelaksanaan sunat perempuan. Masalah  yang selama ini dijadikan alasan pelarangan sunat perempuan adalah tidak adanya SOP (Standar Operating Prosedure)  dalam pelaksanaan sunat perempuan, sehingga seringkali terjadi penyimpangan yang membahayakan. Atas dasar inilah, maka Menteri Kesehatan menerbitkan Permenkes  Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Secara rinci, Permenkes ini memberikan jaminan perlindungan kesehatan terhadap pelaksanaan sunat perempuan, tanpa terjebak pada wilayah agama dan keyakinan. Permenkes ini mengikat bagi orang yang akan melaksanakan sunat perempuan. Untuk menjamin pelaksanaan sesuai kompetensinya, maka Pasal 2 Permenkes menegaskan bahwa “sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu, yang meliputi dokter, bidan, dan perawat yang telah memiliki surat izin praktik, atau surat izin kerja, dan diutamakan berjenis kelamin perempuan. Sementara, untuk menjamin bahwa pelaksanaan sunat perempuan adalah bersifat optional, maka Pasal 3 menegaskan bahwa pelaksanaan sunat perempuan hanya dapat dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat, orang tua, dan/atau walinya, dengan diinformasikan diinformasikan kemungkinan terjadi pendarahan, infeksi, dan rasa nyeri. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan ini, dengan sifatnya berbasis permintaan, juga sekaligus menjawab tudingan sebagian orang bahwa Pemerintah telah masuk dalam urusan agama. Inti Pemnekes ini, menurut hemat penulis adalaha ada di Pasal 4 yang mengatur mengenai syarat dan prosedur pelaksanaan sunat perempuan sebagai berikut:   (1) Pelaksanaan sunat perempuan dilakukan dengan persyaratan: a. di ruangan yang bersih; b. tempat tidur/meja tindakan yang bersih; c. alat yang steril; d. pencahayaan yang cukup; dan e. ada air bersih yang mengalir.   (2) Pelaksanaan sunat perempuan dilakukan dengan prosedur tindakan sebagai berikut: a. cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir selama 10 (sepuluh) menit; b. gunakan sarung tangan steril; c. pasien berbaring telentang, kaki direntangkan secara hati-hati; d. fiksasi pada lutut dengan tangan, vulva ditampakkan; e. cuci vulva dengan povidon iodin 10%, menggunakan kain kasa; f. ​bersihkan kotoran (smegma) yang ada diantara frenulum klitoris dan glans klitoris sampai bersih; g. lakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai berukuran 20G-22G dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris. h. cuci ulang daerah tindakan dengan povidon iodin 10%; i. ​lepas sarung tangan, dan   j. ​cuci tangan dengan sabun dengan air bersih yang mengalir.   Untuk menegaskan perlindungan terhadap anak yang akan disunat dan mencegah terjadinya dampak negatif, maka sunat perempuan tidak dapat dilakukan pada perempuan yang sedang menderita infeksi genitalia eksterna dan/atau infeksi umum. Sunat perempuan dilarang dilakukan dengan cara (i) mengkauterisasi klitoris; (ii) memotong atau merusak klitoris baik sebagian maupun seluruhnya; dan (iii) memotong atau merusak labia minora, labia majora, hymen atau selaput dara dan vagina baik sebagian maupun seluruhnya. Ketentuan ini sekaligus mengonfirmasi praktek sunat perempuan yang tidak dibenarkan secara medis, membahayakan, dan karenanya dilarang. Dengan demikian, seluruh hal yang menjadi “dalil” aktifis yang memperjuangkan pelarangan sunat perempuan secara mutlak rontok oleh Permenkes ini. Permenkes ini juga sekaligus menjadi benteng untuk mencegah peyimpangan praktek sunat perempuan yang membahayakan bagi orang yang disunat. Walau demikian, terhadap Permenkes ini, masih banyak yang “berteriak” dan menganggap Permenkes ini bertentangan dengan hak asasi manusia. Dalam pernyataan sikapnya, yayasan Kalyanamitra dan LSM Amnesty International menyerukan pencabutan Permenkes ini. dalam pernyataannya, Permenkes ini dianggap melegitimasi praktik perusakan alat kelamin perempuan hingga pada mutilasi/ pemotongan alat kelamin perempuan, yang selama ini di kenal dengan istilah “Sunat Perempuan”. Mengikuti utuh pernyataan sikap tersebut, jelas sekali bahwa sikap itu tidak didasarkan pada pengetahuan memadai atas substansi Permenkes ini, pun juga pengetahuan memadai tentang hakekat sunat perempuan yang beririsan dengan masalah doktrin agama. Dalam pernyataan sikapnya, kelompok ini, mengutip Komite PBB untuk CEDAW 2007 menegaskan bahwa praktek sunat perempuan “tidak memiliki dasar dalam agama”. Pertanyaannya kemudian, agama yang mana?  Sebagaimana penjelasan di awal, dalam Islam praktek sunat perempuan jelas berelasi dengan agama. Di samping meminta pencabutan Permenkes, kelompok ini juga menggadang-gadang SE tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan yang dalam tata peraturan perundang-undangan sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum untuk dapat dijadikan sebagai Peraturan Menteri. Dari sini sangat terlihat bagaimana pertarungan sengit antar elemen masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik pada kasus sunat perempuan. Nalar agama sedang bertarung dengan nalar nonagama dalam penyusunan kebijakan publik. Dalam konteks ini sangat terlihat bahwa nalar agama memainkan peran dalam penyusunan regulasi yang beririsan dengan masalah agama. Sementara, kelompok nonagama berkontribusi dalam melahirkan Surat Edaran tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan Nomor HK.00.07.1.3.1047a yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, tahun 2006. Sayangnya, dalam hirarki dan tata peraturan perundangan di Indonesia, SE tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Itupun kemudian menjadi batal demi hukum dengan diterbitkannya Permenkes tentang Sunat Perempuan ini. Dari alur dan prosesnya diketahui bahwa SE Dirjen Binkesmas diterbitkan atas advokasi dan dorongan dari pegiat pelarangan sunat perempuan, yang mengandalkan instrumen internasional sebagai, kelompok ini menisbatkan dirinya pada NGO asing. Sementara, Permenkes muncul sebagai tindak lanjut dari gugatan masyarakat dan diberi suntikan amunisi dengan fatwa MUI tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan. Berpijak pada realitas obyektif inilah akhirnya Menteri Kesehatan menetapkan Permenkes tentang Sunat Perempuan. dalam konteks ini MUI, melalui Fatwa tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan  berada satu garis dengan Permenkes yang mengoreksi total SE tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan yang memang tidak memiliki basis legitimasi, baik moral maupun yuridis.   E. Khitan Perempuan dan Perlindungan Terhadap Hak Anak ​Dalam paparan di atas, dapat dipahami bahwa baik Fatwa MUI tentang khitan perempuan maupun Permenkes Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan sejalan dengan upaya perlindungan terhadap hak perempuan. Pemberian penjelasan mengenai batasan yang diperhatikan dalam pelaksanaan khitan justru meneguhkan perlindungan terhadap hak anak; perlindungan dari dampak negatif yang ditimbulkan akibat tindakan berlebihan dalam praktek khitan yang menyebabkan bahaya. Meski suda ada ketegasan posisi khitan terhadap perempuan, masih saja muncul opini sistematis bahwa khitan perempuan merupakan pelanggaran terhadap hak perempuan, merusak alat reproduksi, dan opini stereotipikal lainnya. Apakah khitan perempuan merupakan pengingkaran terhadap hak-hak anak dan perempuan yang dijunjung tinggi, terkait perlindungan akan kesehatan dan hak reproduksi mereka. Bahkan dikategorikan sebagai tindakan kriminal? Untuk menjawabnya, perlu ada verifikasi kelompok masyarakat yang melakukan gerakan pelarangan khitan terhadap perempuan. Secara umum dapat dikategorikan menjadi dua; pertama, gerakan pelarangan khitan perempuan yang menyimpang, dan kedua pelarangan  khitan perempuan secara mutlak.   Pertama, kelompok yang melarang khitan perempuan yang menyimpang dari kaedah agama dan medis. Kelompok ini mengadvokasi atas peyimpangan pelaksanaan khitan terhadap perempuan. Mereka mendasarkan pelarangan khitan perempuan pada realitas adanya penyimpangan terhadap praktek khitan perempuan, dan tidak sesuai dengan ketentuan fikih. Sejatinya, yang dituntut adalah pelarangan khitan perempuan yang menyimpang dari ketentuan, yang mengakibatkan bahaya. Agaknya pandangan kelompok ini sejalan dengan ketentuan fatwa MUI. Bahwa tindakan khitan yang tidak sesuai dengan ketentuan syari'ah dan membahayakan harus dilarang. Sementara, khitan perempuan yang sejalan dengan ketentuan syari'ah tidak terlarang, bahkan dianjurkan sebagai fitrah dan syi'ar Islam. ​Ketentuan mengenai tata cara khitan terhadap perempuan yang dijelaskan dalam diktum fatwa MUI menegaskan batasan-batasan, yang secara fikih dibenarkan dan secara medis tidak menimbulkan bahaya. Jika terdapat penyimpangan, yang mengakibatkan bahaya secara nyata bagi si perempuan, maka ia secara otomatis terlarang, dan bahkan bisa dihukumi haram. Sebagaimana sabda nabi saw: لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ (رواه أحمد وابن ماجه عن ابن عباس وعبادة بن الصامت) "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh (pula) membahayakan orang lain"   Pada kelompok ini, hendaknya kampanye diarahkan pada pemberian pemahaman yang benar mengenai tata cara khitan terhadap perempuan yang benar secara syari'ah dan aman secara medis. Dengan demikian, fatwa MUI dapat dijadikan guidence serta bahan efektif untuk deseminasi kebijakan ini.     Kedua, kelompok yang melarang khitan perempuan secara mutlak. Kelompok ini umumnya mendasarkan larangannya pada dalil umum tentang upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1984). Isu pelarangan khitan perempuan menjadi polemik dan muncul menjadi isu publik yang kontroversial seiring dengan adanya kampanye sistemik, yang mengkaitkan praktek khitan perempuan dengan isu perlindungan hak asasi manusia, hak anak, dan juga hak perempuan dalam melakukan reproduksi. Secara normatif, gagasan dan semangat perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak anak dan hak perempuan menjadi komitmen semua bangsa yang berbudaya, apapun agamanya. Permasalahan muncul ketika mengkategorikan khitan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Hal ini mengingat, dalam tataran implementasi, penentuan suatu perbuatan dikategorikan sebagai pelanggaran atau tidak sifatnya sangat subyektif, sangat kondisional dan juga sangat terkait dengan struktur sosial, keyakinan, dan nilai yang hidup di masyarakat. Ada upaya sistematis menggiring opini bahwa pelaksanaan khitan terhadap perempuan adalah tindakan kriminal, perusakan alat kelamin, tindak mutilasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Menurut hemat penulis, kelompok ini sangat bias budaya dan juga agama. Bahwa CEDAW (Convention on The Elimination of All forms of Discrimination Againts Women) sebagai sebuah konvensi internasional yang sudah diratifikasi ke dalam UU, kita memang terikat sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku. Dalam fikih perikatan, etika ini sangat dijaga. Hadits di bawah ini menegaskan komitmen itu:   وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا "Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”   Namun, dalam implementasinya sangat tergantung dengan berbagai aspek, baik  hukum, budaya, agama, dan tradisi yang hidup di masyarakat. Pemaksaan pemaknaan khitan perempuan sebagai bentuk pelanggaran adalah tindakan inkonstitusional, provokatif dan justru bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW). UU tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa pelaksanaan ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan dan jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan dengan tata kehidupan yang dikehendaki bangsa Indonesia. Dan salah satu norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia adalah khitan perempuan. Dari sini, dapat dipahami bahwa segala upaya pelarangan terhadap hal yang diyakini sebagai norma agama adalah inkonstitusional, melawan hukum, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling asasi, yakni hak beragama dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Surat Edaran tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan termasuk di dalam bagian ini. Penghargaan terhadap nilai agama dan keragaman budaya merupakan prinsip universal yang harus diperhatikan dalam penetapan setiap kebijakan publik. Tradisi Barat yang setting sosialnya berbasis ajaran kristiani akan sangat berbeda dengan cara pandang Islam dalam hal yang terkait dengan masalah keagamaan. Tradisi kristiani tidak mengenal ritual "khitan". Dalam Islam, sebagaimana tergambar dalam pembahasan di atas, khitan termasuk kategori ibadah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Meski intensitas hukum taklifi (pembebanan)nya diperselisihkan, antara wajib, sunnah, dan makrumah. Dan dalam kaedah hukum Islam, asal dari ibadah adalah bersifat ta'abbudi (dogmatik) (al-Ghalib fi al-ibadah al-ta'abbud wa al-tauqif). Dalam istilah filsafat hukum Islam jenis ini disebut ghair ma'qulat al-ma'na (tidak dapat dirasionalisasi), meski tidak jarang ditemukan manfaat lahiriah atas pelaksanaan dogma tersebut, sebagaimana banyak ditemukan manfaat medis atas khitan bagi laki-laki. Prinsip dari pelaksanaan ibadah yang dogmatik adalah ketundukan. Sekalipun tidak ditemukan manfaat medis sekalipun, sepanjang dalil agama menunjukkan adanya pensyari'atan, maka ia tetap harus dilaksanakan. Alasan mengenai tidak adanya manfaat medis atas khitan perempuan, sebagaimana termuat juga dalam Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, bukan merupakan petunjuk atas terlarangnya khitan perempuan. Dalam bahasa ushul fiqih, "ketiadaan dalil tidak dapat dijadikan dalil". Dalam konteks ini ketiadaan temuan medik mengenai manfaat atas pelaksanaan khitan perempuan bukan merupakan dalil atau alasan dilarangnya khitan perempuan. Alasan ketiadaan prosedur medis dalam melakukan khitan perempuan untuk melarang khitan perempuan juga alasan yang musykil. Justru itulah, tenaga kesehatan dan instansi yang bertangung jawab di bidang medik ini memberikan prosedur medis, bukan justru menjadikannya alasan pelarangan. Batasan atau tata cara khitan terhadap perempuan secara fikih tersebut seharusnya dioperasionalisasi dalam bahasa medis, sehingga tidak terjadi benturan. Ragam pemahaman tentang subtansi khitan perempuan juga memiliki andil yang tidak kecil terhadap fenomena pelarangan khitan perempuan. Sebagaimana dalam konsepsi fikih tidak dijelaskan secara rinci mengenai tata cara khitan perempuan, pengertian sunat perempuan di dunia medik juga terjadi keragaman pemahaman, baik substansi maupun peristilahan. Dalam terminologi WHO, setidaknya ada beberapa istilah yang digunakan; FGM (Female Genital Mutilation), FGC (Female Genital Cutting), Circumcision, dan FGM/C (Female Genital Mutilation/Cutting), dan mendefinisikannya sebagai "all procedures involving partial or total removal of the external female genitalia or other injury to the female genital organs whether for cultural, religious or other non-therapeutic reasons". Fransiska Lisnawati Kerong, dalam bukunya "Female Genital Mutilation Ditinjau dari Aspek Hukum Perlindungan Perempuan dan Hak Asasi Manusia" yang diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya Jakarta menegaskan dalam abstraknya bahwa "Female Genital Mutilation (sunat perempuan) merupakan tindakan pemotongan sebagian atau seluruh organ genital perempuan, yang dilakukan pada bayi atau anak perempuan sebelum mencapai usia akhil balik". Definisi FGM yang seperti ini, tidak sejalan dengan pengertian sunat perempuan dalam perspektif fikih Islam. Pengertian ini menambah biasnya pengertian khitan perempuan. Jika khitan perempuan dikategorikan sebagai mutilasi yang terlarang, maka logikanya sebenarnya khitan laki-laki lebih layak untuk dilarang, karena jelas-jelas memotong bagian dari kemaluan laki-laki dan membuangnya. Namun, tidak banyak yang berani mengampanyekan larangan khitan bagi laki-laki dan mengkategorikannya sebagai tindakan mutilasi yang melanggar HAM. Apakah karena sudah banyak penelitian yang membuktikan mutilasi organ kelamin laki-laki ini dapat menghindarkan diri dari penyakit kelamin seperti kanker dan HIV, kemudian ia tidak dimasukkan sebagai "mutilasi" yang terlarang, sementara dalam hal "mutilasi" kelamin perempuan karena belum ada penemuan ilmiah, sehingga ia masuk kategori pelanggaran HAM? Dugaan penulis, karena pelarangan khitan terhadap laki-laki akan membentur tembok besar keyakinan umat Islam yang sangat kuat. Walau demikian, American Medical Association (Asosiasi Medis Amerika) menyatakan bahwa perhimpunan kesehatan di Amerika Serikat, Australia dan Kanada tidak merekomendasikan sunat rutin non-therapeutic pada bayi laki-laki. Para pendukung integritas genital mengecam semua tindakan sunat pada bayi karena menurut mereka itu adalah bentuk mutilasi genital pria yang dapat disamakan dengan sunat pada wanita yang dilarang di AS. Jika pelarangan khitan terhadap perempuan bersifat mutlak sebagaimana tergambar di atas, maka Fatwa MUI dapat menjadi benteng atas langkah-langkah sistemik tersebut, dan ia berada dalam posisi yang berhadapan dengan kelompok ini.   F. Kesimpulan Dari paparan di atas, sebagai penutup makalah ini dapat disampaikan beberapa kesimpulan, di antaranya:   1. Dalam madzhab fikih yang utama, diperoleh konsensus bahwa tidak dibenarkan pelarangan khitan terhadap perempuan. 2. Perlu ada pemahaman yang benar dan utuh terhadap terminologi khitan perempuan. Kesalahan konsepsi terhadap khitan perempuan akan melahirkan kebijakan yang salah pula. Penyamaan definisi khitan perempuan dalam konteks Indonesia yang berbasis norma agama Islam dengan Female Genital Mutilation (FGM) adalah tindakan yang ceroboh yang ahistoris. Penyebutan FGM dengan khitan/sunat perempuan dan medikalisasi sunat perempuan juga tindakan gegabah. Pandangan Prof Jurnalis Uddin tidak menyamakan FGM dengan khitan perempuan dan menjelaskan bahwa di Indonesia tidak ada khitan perempuan model FGM. 3. Fatwa MUI  tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan punya dua dimensi; (i) penegasan dan respons atas gerakan pelarangan khitan terhadap perempuan secara mutlak. MUI menilai bahwa pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari'ah, melanggar konstitusi, dan melanggar hak asasi manusia yang paling dasar, yakni hak kebebasan beragama dan menjalankan agamanya; (ii) penegasan akan pentingnya regulasi dan sosialisasi atas praktek khitan terhadap perempuan yang berar secara syar'i dan aman secara medik, sehingga tidak mendatangkan bahaya bagi perempuan. 4. Fatwa MUI tentang khitan perempuan ini berhadapan secara diametral dengan kelompok masyarakat yang memaksakan diri untuk melakukan pelarangan khitan  terhadap perempuan secara mutlak. Tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan syari'ah dan nilai universal hak asasi manusia, serta melanggar konstitusi negara. 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan merupakan upaya untuk memberikan perlindungan anak, terutama terkait dengan hak agama dan hak kesehatan. Permenkes ini memberikan petunjuk teknis mengenai tata cara pelaksanaan sunat perempuan yang aman secara medis sehingga hak kesehatan anak terpenuhi, sekaligus menjamin pemenuhan hak agama anak yang meyakini bahwa khitan, baik laki-laki maupun perempuan merupakan ajaran agama.

Jumat, 25 Mei 2012

Benarkah imunisasi lumpuhkan generasi?

Pendahuluan

Akhir-akhir ini kita sering mendengar atau melihat seminar dengan judul yang membuat mata seorang dokter terbelalak. "Imunisasi lumpuhkan generasi" atau "Wahai para orangtua bekali dirimu dengan pengetahuan tentang bahaya imunisasi". Sebagai seorang dokter saya lalu merenung, bila benar apa yang mereka serukan itu, betapa besar dosa saya sebagai dokter anak yang sering mengimunisasi bayi dan anak yang datang ke tempat praktek. Betapa jahatnya saya sebagai manusia karena telah mengimunisasi begitu banyak bayi dan anak selama ini, bahkan sejak saya masih sebagai dokter umum di puskesmas dahulu. Lalu saya merenung dan mencoba meneliti kembali permasalahan ini. Siapa sebenarnya yang salah dan siapa yang benar? Dalam kontroversi yang memuat perbedaan 180 derajat ini, tidak mungkin kedua-duanya salah atau benar. Pasti salah satu benar dan yang lain salah. Dan saya khawatir bila selama ini sayalah yang bersalah itu. Saya sungguh khawatir jangan-jangan saya telah melumpuhkan begitu banyak generasi muda. Jangan-jangan saya telah melakukan dosa kemanusiaan yang sangat besar. Galau habis-habisan.
Rasa galau itu membuat saya membuka-buka literatur dan data yang ada tentang permasalahan imunisasi. Saya mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan seruan yang menentang keras imunisasi. Suatu pernyataan yang sangat bertolak belakang dengan yang selama ini saya pelajari bahwa imunisasi itu suatu tindakan preventif yang amat bermanfaat buat kemanusiaan. Di lain pihak kegalauan saya juga semakin menjadi bila mengingat andai seruan tersebut kemudian menyebar ke masyarakat luas lalu apa yang akan terjadi dengan bayi-bayi mungil tak berdosa itu di kemudian hari? Mungkinkah penyakit-penyakit berat yang dapat dicegah dengan imunisasi akan bangkit kembali dari kuburnya gara-gara seruan itu? Masalah ini justru menimbulkan kegalauan lebih dalam bagi saya.

Apakah sebenarnya imunisasi itu?

Sebelum melangkah lebih jauh mari kita bahas sekilas apakah yang dimaksud dengan imunisasi. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit tersebut ia tidak menjadi sakit. Kekebalan yang diperoleh dari imunisasi dapat berupa kekebalan pasif maupun aktif. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan pasif disebut imunisasi pasif, dengan cara memberikan antibodi atau faktor kekebalan kepada seseorang yang membutuhkan. Contohnya adalah pemberian imunoglobulin spesifik untuk penyakit tertentu, misalnya imunoglobulin antitetanus untuk penyakit tetanus. Contoh lain adalah kekebalan pasif alamiah antibodi yang diperoleh janin dari ibu. Kekebalan jenis ini tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Kekebalan aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen secara alamiah atau melalui imunisasi. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat bioaktif yang disebut vaksin, dan tindakan itu disebut vaksinasi. Kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi berlangsung lebih lama dari kekebalan pasif karena adanya memori imunologis, walaupun tidak sebaik kekebalan aktif yang terjadi karena infeksi alamiah. Untuk memperoleh kekebalan aktif dan memori imunologis yang efektif maka vaksinasi harus mengikuti cara pemakaian dan jadwal yang telah ditentukan melalui bukti uji klinis yang telah dilakukan. Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat (populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia seperti kita lihat pada keberhasilan imunisasi cacar variola. Keadaan terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti penyakit difteri dan poliomielitis. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) merupakan penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan seumur hidup dan akan menjadi beban bagi masyarakat di kemudian hari. Sampai saat ini terdapat 19 jenis vaksin untuk melindungi 23 PD3I di seluruh dunia dan masih banyak lagi vaksin yang sedang dalam penelitian.

Adakah bukti bahwa imunisasi bermanfaat ?

Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah adakah manfaat imunisasi? Ataukah imunisasi hanya bikin mudhorot (keburukan) buat kemanusiaan? Untuk menjawab pertanyaan ini saya kemudian menelaah berbagai data status kesehatan masyarakat sebelum dan sesudah ditemukannya imunisasi di berbagai negara. Namun saya ingin menampilkan data dari negara maju seperti Amerika Serikat, karena kelompok antiimunisasi selalu menuduh bahwa imunisasi adalah sebuah proyek konspirasi dari negara ini untuk melumpuhkan generasi muda di seluruh dunia.
Sebelum adanya vaksin polio, terdapat 13.000 - 20.000 (16.316) kasus lumpuh layuh akut akibat polio dilaporkan setiap tahun di AS meninggalkan ribuan korban penderita cacat karena polio yang mesti menggunakan tongkat penyangga atau kursi roda. Saat ini AS dinyatakan bebas kasus polio. Angka penurunan mencapai 100%.
Sebelum adanya imunisasi campak, 503.282 kasus campak terjadi setiap tahun dan 20% di antaranya dirawat dengan jumlah kematian mencapai 450 orang pertahun akibat pneumonia campak. Setelah ada imunisasi campak kasus menurun hingga 55 kasus pertahun pada tahun 2006. Angka penurunan 99.9%.
Sebelum ditemukan imunisasi difteri terjadi 175.885 kasus difteri per tahun dengan angka kematian mencapai 15.520 kasus. Setelah imunisasi ditemukan tahun 2001 jumlahnya menurun menjadi 2 kasus dan tahun 2006 tidak ada lagi laporan kasus difteri. Angka penurunan mencapai 100%
Sebelum tahun 1940an terdapat 150.000-260.000 kasus pertussis setiap tahun dengan angka kematian mencapai 9000 kasus setahun. Setelah imunisasi pertussis ditemukan angka kematian menurun menjadi 30 kasus setahun. Namun dengan seruan antiimunisasi yang marak di AS terjadi lagi peningkatan kasus secara signifikan di beberapa negara bagian. Pada 8 negara bagian terjadi peningkatan kasus 10-100 kali lipat pada saat cakupan imunisasi pertussis menurun drastis.
Sebelum vaksin HiB ditemukan, HiB nerupakan penyebab tersering meningitis bakteri (radang selaput otak) di AS, dengan 20.000 kasus per tahun. Meningitis HiB menyebabkan kematian 600 anak pertahun dan meninggalkan kecacatan berupa tuli, kejang, dan retardasi mental pada anak yang selamat. Pada tahun 2006 kasus meningitis HIB menurun menjadi 29 kasus. Angka penurunan 99.9%.
Hampir 90% bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi Rubella saat hamil trimester pertama akan mengalami sindrom Rubella kongenital, berupa penyakit jantung bawaan, katarak kongenital, dan ketulian. Pada tahun 1964 sekitar 20.000 bayi lahir dengan sindrom Rubella kongenital ini, mengakibatkan 2100 kematian neonatal dan 11.250 abortus. Setelah adanya imunisasi hanya dilaporkan 6 kasus sindrom Rubella kongenital pada tahun 2000. Kasus Rubella secara umum menurun dari 47.745 kasus menjadi hanya 11 kasus pertahun pada tahun 2006. Angka penurunan 99.9%.
Hampir 2 milyar orang telah terinfeksi hepatitis B suatu saat dalam hidupnya. Sejuta di antaranya meninggal setiap tahun karena penyakit sirosis hati dan kanker hati. Sekitar 25% anak-anak yang terinfeksi hepatitis B dapat diperkirakan akan meninggal karena penyakit hati pada saat dewasa. Terjadi penurunan jumlah kasus baru dari 450.000 kasus pada tahun 1980 menjadi sekitar 80.000 kasus pada tahun 1999. Penurunan terbanyak terjadi pada anak dan remaja yang mendapat imunisasi rutin.
Di seluruh dunia penyakit tetanus menyebabkan kematian pada 300.000 neonatus dan 30.000 ibu melahirkan setiap tahunnya dan mereka tidak diimunisasi adekuat. Tetanus sangat infeksius namun tidak menular, sehingga tidak seperti PD3I yang lain, imunisasi pada anggota suatu komunitas tidak dapat melindungi orang lain yang tidak diimunisasi. Karena bakteri tetanus terdapat banyak di lingkungan kita, maka tetanus hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Bila program imunisasi tetanus distop, maka semua orang dari berbagai usia akan rentan menderita penyakit ini.
Sekitar 212.000 kasus mumps (gondongan) terjadi di AS pada tahun 1964. Setelah ditemukannya vaksin mumps pada tahun 1967 insidens penyakit ini menurun menjadi hanya 266 kasus pada tahun 2001. Namun pada tahun 2006 terjadi KLB di kalangan mahasiswa, sebagian besar di antara mereka menerima 2 kali vaksinasi. Terjadi lebih dari 5500 kasus pada 15 negara bagian. Mumps merupakan penyakit yang sangat menular dan hanya butuh beberapa orang saja yang tidak diimunisasi untuk memulai transmisi penyakit sebelum menyebar luas.
Sebelum vaksin pneumokokus ditemukan, pneumokokus menyebabkan 63.000 kasus invassive pneumococcal disease (IPD) dengan 6100 kematian di AS setiap tahun. Banyak anak yang menderita gejala sisa berupa ketulian dan kejang-kejang.

Dari data di atas para ahli menyimpulkan bahwa imunisasi adalah salah satu di antara program kesehatan masyarakat yang paling sukses dan cost-effective . Program imunisasi telah menyebabkan eradikasi penyakit cacar (variola, smallpox), eliminasi campak dan poliomielitis di berbagai belahan dunia. dan penurunan signifikan pada morbiditas dan mortalitas akibat penyakit difteri, tetanus, dan pertussis. Badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2003 memperkirakan 2 juta kematian anak dapat dicegah dengan imunisasi. Katz (1999) bahkan menyatakan bahwa imunisasi adalah sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini.

Miskonsepsi tentang imunisasi

Meskipun imunisasi telah terbukti banyak manfaatnya dalam mencegah wabah dan PD3I di berbagai belahan dunia, namun masih terdapat sebagian orang yang memiliki miskonsepsi terhadap imunisasi. Secara umum berikut ini adalah beberapa miskonsepsi yang sering terjadi di masyarakt:

A. Penyakit-penyakit tersebut (PD3I) sebenarnya sudah mulai menghilang sebelum vaksin ditemukan karena meningkatnya higiene dan sanitasi.
Pernyataan sejenis ini dan variasinya sangat banyak dijumpai pada literatur antivaksin. Namun bila melihat insidens aktual PD3I sebelum dan sesudah ditemukannya vaksin kita tidak lagi meragukan manfaat vaksinasi. Sebagai contoh kita lihat kasus meningitis HiB di Canada. Higiene dan sanitasi sudah dalam keadaan baik sejak tahun 1990, namun kejadian meningitis HiB sebelum program imunisasi dilaksanakan mencapai 2000 kasus per tahun dan setelah imunisasi rutin dijalankan menurun menjadi 52 kasus saja dan mayoritas terjadi pada bayi dan anak yang tidak diimunisasi. Contoh lain adalah pada 3 negara maju (Inggris, Swedia, dan Jepang) yang menghentikan program imunisasi pertussis karena ketakutan terhadap efek samping vaksin pertussis. Di Inggris tahun 1974 cakupan imunisasi menurun drastis dan diikuti dengan terjadinya wabah pertussis pada tahun 1978, ada 100.000 kasus pertussis dengan 36 kematian. Di Jepang pada kurun waktu yang sama cakupan imunisasi pertussis menurun dari 70% menjadi 20-40% hal ini menyebabkan lonjakan kasus pertussis dari 393 kasus dengan 0 kematian menjadi 13.000 kasus dengan 41 kematian karena pertussis pada tahun 1979. Di Swedia pun sama, dari 700 kasus pada tahun 1981 meningkat menjadi 3200 kasus pada tahun 1985. Pengalaman tersebut jelas membuktikan bahwa tanpa imunisasi bukan saja penyakit tidak akan menghilang namun juga akan hadir kembali saat program imunisasi dihentikan.

B. Mayoritas anak yang terkena penyakit justru yang sudah diimunisasi.
Pernyataan ini juga sering dijumpai pada literatur antivaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB) jumlah anak yang sakit dan pernah diimunisasi lebih banyak daripada anak yang sakit dan belum diimunisasi. Penjelasan masalah tersebut sebagai berikut: pertama tidak ada vaksin yang 100% efektif. Efektivitas sebagian besar vaksin pada anak adalah sebesar 85-95%, tergantung respons individu. Kedua: proporsi anak yang diimunisasi lebih banyak daripada anak yang tidak diimunisasi di negara yang menjalankan program imunisasi. Bagaimana kedua faktor tersebut berinteraksi diilustrasikan dalam contoh berikut. Suatu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah diimunisasi campak 2 kali kecuali 25 yang tidak pernah sama sekali. Ketika semua murid terpapar campak, 25 murid yang belum diimunisasi semuanya menderita campak. Dari kelompok yang telah diimunisasi campak 2 kali, sakit 50 orang. Jumlah seluruh yang sakit 75 orang dan yang tidak sakit 925 orang. Kelompok antiimunisasi akan mengatakan bahwa persentase murid yang sakit adalah 67 % (50/75) dari kelompok yang pernah imunisasi, dan 33% (25/75) dari kelompok yang tidak diimunisasi. Padahal bila dihitung dari efek proteksi, maka imunisasi memberikan efek proteksi sebesar (975-25)/975 = 94.8%. Yang tidak diimunisasi efek proteksi sebesar 0/25= 0%. Dengan kata lain, 100% murid yang tidak mendapat imunisasi akan sakit campak; dibanding hanya 5,2% dari kelompok yang diimunisasi yang terkena campak. Jelas bahwa imunisasi berguna untuk melindungi anak.

C. Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan, dan bahkan kematian
Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek simpang vaksin bersifat ringan dan sementara, seperti nyeri pada bekas suntikan atau demam ringan. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) secara definitif mencakup semua kejadian sakit pasca imunisasi. Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI hampir sama dengan prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan sehari-hari tanpa adanya program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar bersifat koinsidens. Kematian yang disebabkan oleh vaksin sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yang dilaporkan di Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990-1992, hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan vaksin. Institut of Medicine (IOM) tahun 1994 menyatakan bahwa risiko kematian akibat vaksin adalah amat rendah (extra-ordinarily low). Besarnya risiko harus dibandingkan dengan besarnya manfaat vaksin. Bila satu efek simpang berat terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun tidak ada manfaat vaksin, maka vaksin tersebut tidak berguna. Manfaat imunisasi akan lebih jelas bila risiko penyakit dibandingkan dengan risiko vaksin.

Contoh vaksin MMR (melindungi campak, mumps (gondongan) dan rubella (campak jerman)
pneumonia campak : risiko kematian 1:3000 risiko alergi berat MMR 1:1000.000
Ensefalitis mumps : 1 : 300 pasien mumps risiko ensefalitis MMR 1:1000.000
Sindrom rubella kongenital : 1 : 4 bayi dari ibu hamil kena rubella

Contoh vaksin DPaT (melindungi difteri, pertussis, dan tetanus)
Difteri : risiko kematian 1 : 20 risiko menangis lama sementara 1 : 100
Tetanus : risiko kematian 1 : 30 risiko kejang sembuh sempurna 1 : 1750
Pertussis : risiko ensefalitis pertussis 1 : 20 risiko ensefalitis DPaT 1 : 1000.000


D. Penyakit penyakit tersebut (PD3I) telah tidak ada di negara kita sehingga anak tidak perlu diimunisasi
Angka kejadian beberapa penyakit yang termasuk PD3I memang telah menurun drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi di negara lain. Siapa pun termasuk wisatawan dapat membawa penyakit tersebut secara tidak sengaja dan dapat menimbulkan wabah. Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada tahun 2005 lalu. Sejak tahun 1995 tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulan April 2005, Laboratorium Bioofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya virus polio liar tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh layuh akut pada bulan Maret 2005. Anak tersebut tidak pernah diimunisasi sebelumnya. Virus polio itu selanjutnya menyebabkan wabah merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006 tercatat 349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDVP (vaccine derived polio virus) di Madura. Dari analisis genetik virus diketahui bahwa virus berasal dari Afrika barat. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa virus sampai ke Indonesia melalui Nigeria dan Sudan sama seperti virus yang diisolasi di Arab Saudi dan Yaman. Dari pengalaman tersebut terbukti bahwa anak tetap harus mendapat imunisasi karena dua alasan. Alasan pertama adalah anak harus dilindungi. Meskipun risiko terkena penyakit adalah kecil, bila penyakit masih ada, anak yang tidak terproteksi tetap berpeluang terinfeksi. Alasan kedua imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah anak yang tak dapat diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap komponen vaksin) dan sebagian kecil anak yang tidak memberi respons terhadap imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang diharapkan adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan tidak menularkan penyakit kepadanya.

E. Pemberian vaksin kombinasi (multipel) meningkatkan risiko efek simpang yang berbahaya dan dapat membebani sistem imun
Anak-anak terpapar pada banyak antigen setiap hari. Makanan dapat membawa bakteri yang baru ke dalam tubuh. Sistem imun juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri hidup di mulut dan hidung. Infeksi saluran pernapasan bagian atas akan menambah paparan 4-10 antigen, sedangkan infeksi streptokokus pada tenggorokan memberi paparan 25-50 antigen. Tahun 1994 IOM menyatakan bahwa dalam keadaan normal penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak mungkin akan memberikan beban tambahan pada sistem imun dan tidak bersifat imunosupresif. Data penelitian menunjukkan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel tidak membebani sistem imun anak normal. Pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), American Academy of Pediatrics (AAP), dan American Academy of Family Physicians (AAFP) merekomendasi pemberian vaksin kombinasi untuk imunisasi anak. Keuntungan vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah suntikan, mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi jumlah kunjungan ke dokter, dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi.

F. Vaksin MMR menyebabkan autisme
Beberapa orangtua anak dengan autisme percaya bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara vaksin MMR dengan autisme. Gejala khas autisme biasanya diamati oleh orangtua saat anak mulai tampak gejala keterlambatan bicara setelah usia lewat satu tahun. Vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan (di luar negeri 12 bulan). Pada usia sekitar inilah biasanya gejala autisme menjadi lebih nyata. Meski pun ada juga kejadian autisme mengikuti imunisasi MMR pada beberapa kasus. Akan tetapi penjelasan yang paling logis dari kasus ini adalah koinsidens. Kejadian yang bersamaan waktu terjadinya namun tidak terdapat hubungan sebab akibat. Kejadian autisme meningkat sejak 1979 yang disebabkan karena meningkatnya kepedulian dan kemampuan kita mendiagnosis penyakit ini, namun tidak ada lonjakan secara tidak proporsional sejak dikenalkannya vaksin MMR pada tahun 1988. Pada tahun 2000 AAP membuat pernyataan : "Meski kemungkinan hubungan antara vaksin MMR dengan autisme mendapat perhatian luas dari masyarakat dan secara politis, serta banyak yang meyakini adanya hubungan tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya, namun bukti-bukti ilmiah yang ada tidak menyokong hipotesis bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme dan kelainan yang berhubungan dengannya. Pemberian vaksin measles, mumps, dan rubella secara terpisah pada anak terbukti tidak lebih baik daripada pemberian gabungan menjadi vaksin MMR, bahkan akan menyebabkan keterlambatan atau luput tidak terimunisasi. Dokter anak mesti bekerjasama dengan para orangtua untuk memastikan bahwa anak mereka terlindungi saat usianya mencapai 2 tahun dari PD3I. Upaya ilmiah mesti terus dilakukan untuk mengetahui penyebab pasti dari autisme. Lembaga lain yaitu CDC dan NIH juga membuat pernyataan yang mendukung AAP. Pada tahun 2004 IOM menganalisis semua penelitian yang melaporkan adanya hubungan antara vaksin MMR dengan autisme. Hasilnya adalah tidak satu pun penelitian itu yang tidak cacat secara metodologis. Kesimpulan IOM saat itu adalah tidak terbukti ada hubungan antara vaksin MMR dengan autisme.

Penutup

Setelah mengkaji berbagai literatur sebagaimana disebutkan di atas, maka secara berangsur kegalauan saya menghilang. Saya semakin yakin akan kebenaran teori ilmiah berbasis bukti yang sudah ditemukan para ahli. Bahkan beberapa waktu lalu ada sejawat saya Dr Julian Sunan, seorang dokter yang masih muda dan amat ganteng (menurut pengakuannya sendiri) telah menelaah bahwa ternyata tokoh-tokoh antivaksin yang sering dikutip kelompok antivaksin di Indonesia ternyata banyak yang fiktif. Mereka melakukan pemelintiran data dan pemutarbalikan fakta. Tak heran kalau yang sangat aman dianggap sangat berbahaya dan penyakit sangat berbahaya nan mematikan dianggap tidak apa apa dan mungkin malah diajak bersahabat karib oleh kelompok antiimunisasi. Terimakasih.


Bahan bacaan

Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Buku Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi ke-4. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta 2011.
Center for Disease Control http://www.cdc.gov
Gangarosa EJ, et al. Impact of anti-vaccine movements on pertussis control: the untold story. Lancet 1998;351:356-61.
Am. Acad. Ped. When Parents Refuse to Immunize Their Children. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1428-1431 (doi:10.1542/peds.2005-0316)
Diekema DS and the Committee on Bioethics. Responding to Parental Refusals of Immunization of Children. Pediatrics 2005;115:1428–1431
World Health Oranization: http://www.who.int/immunization_safety/aefi/immunization_misconceptions
http://www.quackwatch.com
Halsey NA and others. Measles-mumps-rubella vaccine and autistic spectrum disorder: Report from the New Challenges in Childhood Immunizations Conference Convened in Oak Brook, Illinois, June 12-13, 2000. Pediatrics 107(5):E84, 2001.
National Network for Immunization Information http://www.immunizationinfo.org/
The Red Book http://aapredbook.aappublications.org/
http://juliansunan.blogspot.com/ Bahaya imunisasi, telaah tahap 1 dan tahap 2